Departemen
Kajian dan Aksi Strategis
BEM
FEB UI 2018
Revolusi
Industri 4.0 merupakan proyek menggunakan teknologi mutakhir yang menjadi
gagasan dari pemerintah Jerman pada tahun 2011. Tujuannya adalah untuk
menyatukan ruang virtual melalui sistem cyber-physics demi
mencapai otonomi dan efisiensi maksimum. Beberapa contoh teknologi yang
menggambarkan Revolusi Industri 4.0 adalah automated
simulations, Internet of Things, cloud computing, big data, additive
manufactuting, augmented reality, dan lain-lain.
Lambat laun, kehadiran teknologi mutakhir tersebut mulai terasa
dampaknya di Indonesia. Dampak yang paling terlihat dari adanya Revolusi
Industri 4.0 adalah penggunaan peralatan sebagian besar otomatis dalam sistem
manufaktur atau proses produksi lainnya—disebut dengan automasi. Tren automasi
yang sedang dialami oleh Indonesia dapat dimanfaatkan dalam berbagai sektor
contohnya sektor maritim.
Indonesia
adalah negara kepulauan yang letaknya dikelilingi oleh dua samudera, Pasifik
dan Hindia–juga di antara Laut Cina Selatan dan Laut Asia Timur dengan Samudera
Hindia, memiliki total luas wilayah sebesar 7,81 juta km2 dengan
rincian 2,01 juta km2 daratan, 3,25 juta km2 lautan,
dan 2,55 juta km2 ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif)[1].
Artinya, 74% luas Indonesia merupakan perairan. Karena hal tersebut, Indonesia
seringkali disebut sebagai negara maritim. Presiden Joko Widodo menyatakan
dalam pidatonya saat Konferensi Tingkat Tinggi ke-9 di East Asia Summit pada
tahun 2014 bahwa beliau memiliki visi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia.
Salah satu tujuan utama Presiden Joko Widodo untuk menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah dengan meningkatkan konektivitas
laut. Sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang lebih luas dibandingkan wilayah
daratannya, konektivitas kelautan merupakan hal yang penting untuk Indonesia
sebagai negara maritim. Konektivitas kelautan dapat dikaitkan dengan upaya
untuk mencapai pembangunan nasional yang bersifat inklusif—bersifat
Indonesiasentris dan bukan Jawasentris. Konektivitas penting perannya dalam
rangka mengurangi disparitas harga komoditas antardaerah di Indonesia yang
biasanya disebabkan karena biaya pengiriman yang mahal. Konektivitas untuk
antarpulau juga dianggap sebagai aspek yang penting dalam memperlancar
aktivitas pada suatu daerah yang harus menggunakan moda transportasi laut untuk
menunjang aktivitas.
Pembangunan konektivitas laut pada masa ini tentu sebaiknya
berorientasi kepada mada depan. Proyek-proyek besar sudah selayaknya tidak
hanya adaptif terhadap kebutuhan masa kini, namun turut memperhatikan kebutuhan
di masa 10-15 tahun lagi dikarenakan proyek-proyek besar seperti ini dapat
dikatakan cukup menghabiskan biaya maupun waktu dan tenaga. Sesuai dengan iklim
Revolusi Industri 4.0, ada potensi lebih dari adanya kemajuan teknologi yang
dapat membuat tujuan utama dari proyek ini-efisiensi-dapat tercapai dengan
hasil yang lebih optimal. Fokus utama kajian ini adalah membahas lebih detil
mengenai peluang-peluang adanya pengembangan infrastruktur laut yang lebih
inovatif demi menciptakan efisiensi yang lebih optimal.
Implementasi
Konektivitas Melalui Tol Laut
Untuk
mendukung optimalisasi sektor maritim Indonesia, konektivitas antarpulau adalah
langkah strategis sangat diperlukan. Presiden Joko Widodo menjadikan
konektivitas antarpulau melalui laut atau yang lebih dikenal dengan ‘tol laut’
sebagai salah satu prioritas dalam program kerjanya. Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia 2015-2019 disebutkan bahwa tol laut adalah
konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara rutin
dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia[2].
Peningkatan konektivitas nasional untuk mencapai keseimbangan
pembangunan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015-2019 menekankan pada terintegrasinya pembangunan tol laut untuk
mewujudkan daya saing dan kedaulatan wilayah kepulauan Indonesia sebagai negara
maritim, menunjang pertumbuhan sektor pariwisata, serta mempersempit kesenjangan
wilayah. Untuk itu, pemerintah dan Pelindo telah berkoordinasi dalam
pengembangan 24 pelabuhan strategis sebagai implementasi dari tol laut.
Penentuan 24 pelabuhan strategis mengikuti pertimbangan dari berbagai hal,
yaitu sebaran
wilayah,
kondisi dan kapasitas pelabuhan, potensi pengembangan maksimum pelabuhan dan
hinterlandnya, arus barang dan liners yang
telah melayani pelabuhan, serta kemampuan pemerintah dan BUMN dalam
merealisasikan pengembangan pelabuhan. 24 pelabuhan strategis direncanakan akan
dikembangkan dengan konsep berikut:
1. Pembangunan pelabuhan bertaraf internasional yang
berkapasitas besar dan modern untuk ekspor berbagai komoditas dan berfungsi
juga sebagai International Seaport-Hub.
2. Pengerukan kolam dan alur pelabuhan Hub min -12,5m
untuk mendukung penggunaan kapal Panamax 4.000 TEUS yang bergerak dengan rute
pendulum.
3.
Peningkatan draft pelabuhan feeder min
-7m, untuk mendukung penggunaan kapal 3 in 1 dan
atau kapal 2 in 1 yang mulai dikembangkan PT. PELNI.
4. Modernisasi fasilitas dan peralatan bongkar muat
pelabuhan strategis tol laut untuk meningkatkan produktivitas pelabuhan.
5.
Perluasan penerapan INSW dalam rangka persiapan implementasi ASEAN Single
Windows.
6. Restrukturisasi dan rasionalisasi tarif jasa
kepelabuhanan dalam rangka meningkatkan daya saing.
Figur 1 : 24 pelabuhan strategis sebagai implementasi tol laut
Menurut Bappenas, total anggaran dalam pengimplementasian
tersebut diperkirakan akan menghabiskan anggaran hingga Rp700 triliun selama
periode rencana pembangunan menengah 2015-2019 dengan rincian anggaran sebagai
berikut.
Figur
2: Rincian biaya implementasi tol laut dalam periode 2015-2019[1]
Kondisi
Pelabuhan Indonesia Hari Ini
Pelabuhan menjadi pekerjaan pemerintah dalam menerapkan
konektivitas laut di Indonesia. Pelabuhan yang ada di Indonesia harus disiapkan
secara baik untuk memfasilitasi pengiriman antarpulau dan pengiriman
internasional. Pelabuhan merupakan instrumen utama dalam membangun konektivitas
laut.
Berbicara
tentang pelabuhan di Indonesia. Sampai saat ini, pelabuhan Tanjung Priuk adalah
pelabuhan dengan kapasitas daya tampung terbesar hingga 8 Juta TEUs
(Twenty-foot Equivalent Unit) dan dapat disinggahi oleh kapal berukuran hingga
8500 TEUs. Akan tetapi, daya tampung tersebut ternyata masih kalah tipis dari
Port Klang, Malaysia dengan kapasitas 9,95 juta TEUs. Ekstrimnya, daya tampung
Pelabuhan Tanjung Priukhanya ¼ dari daya tampung yang dimiliki oleh Port of
Singapore, Singapura yang memiliki daya tampung hingga 30,9 juta TEUs. Selain
dari daya tampung yang belum memadai, terdapat sebuah kendala dari segi dwelling
time yang dimiliki oleh pelabuhan di Indonesia.
Dwelling
time adalah waktu yang diperlukan oleh peti kemas (barang impor)
ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di pelabuhan sejak dibongkar dari
kapal sampai dengan barang impor keluar dari TPS. Secara keseluruhan, Indonesia
dilansir INSW (Indonesia National Single Window) per 25 Januari 2018,
rerata dwelling time di pelabuhan yang dioperasikan oleh PT.
Pelindo III mencapai 5,45 hari dengan jumlah kontainer yang menumpuk sebesar
46.651 kontainer. Kemudian, dwelling time di
pelabuhan yang dioperasikan oleh PT. Pelindo II, mencapai 4,9 hari dengan
jumlah kontainer yang menumpuk sebesar 163.843 boks. Secara keseluruhan, dalam
hal dwelling timeIndonesia masih kalah jauh dengan negeri
tetangga seperti Malaysia yang mencapai 2 hari, Thailand 3,5 hari dan Singapura
1 hari.
Terdapat
beberapa alasan yang menyebabkan dwelling time seakan-akan
menjadi masalah klasik serta masalah yang tidak kunjung terselesaikan di
Indonesia. Mantan Menteri Kemaritiman Indonesia, Rizal Ramli, menjelaskan bahwa
terdapat 6 masalah yang dialami oleh Indonesia.
Masalah pertama adalah pelaku ekspor-impor yang sengaja
memperlambat pengurusan dokumen dengan berbagai alasan sehingga memperlambat
kegiatan perdagangan. Kemudian adalah denda kontainer bagi importir yang
dinilai bonafide dan kredibel hanya dikenakan sebesar Rp27.500 jika kontainer
tersebut menginap lebih dari dua hari di pelabuhan. Tarif ini sangat murah
dibandingkan jika pemilik barang menyewa gudang di luar pelabuhan. Sehingga
importir merasa lebih menguntungkan apabila ia menginapkan kontainernya di
pelabuhan ketimbang menyewa gudang di luar pelabuhan.
Masalah
ketiga adalah perurusan izin yang masih lambat yang menjadi penghambat dari
kegiatan dwelling time. Keempat, seluruh pelabuhan di Indonesia
masih mengandalkan pelabuhan Tanjung Priok sebagai tempat bersingah sehingga
akan memperlambat dan cenderung menaikan biaya distribusi.
Masalah
kelima adalah ketiadaan infrastruktur penunjang yang cukup seperti hanya adanya
1 jalur keretayang mengakibatkan perjalanan kontainer semakin tertahan di
pelabuhan. Masalah terakhir adalah waktu tunggu kapal di pelabuhan yang disebut
sebagai demurrage time. Rata-rata demurrage
time Indonesia masih relatif lama, sekitar tiga sampai tujuh hari.
Peluang
Efisiensi dari Adanya Revolusi Industri 4.0
Seperti yang telah disebutkan di atas, Indonesia merupakan negara yang kondisi
geografisnya dikelilingi oleh perairan. Maka dari itu, infrasruktur
konektivitas laut yang memadai merupakan hal yang krusial dalam rangka
menciptakan jalur transportasi dan distribusi yang ideal.
Adanya fasilitas infrastruktur konektivitas yang efektif,
efisien, dan memadai akan mendorong terciptanya rantai distribusi yang efektif
dan efisien. Hal ini dapat berpengaruh kepada meningkatnya efisiensi secara
keseluruhan yang akan mengakibatkan berkurangnya disparitas harga secara
signifikan yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas serta
meningkatkan kemampuan ekonomi dan daya beli masyarakat. Terutama kepada
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah tertinggal, terluar, dan terdepan di
wilayah Indonesia. Pentingnya infrastruktur laut yang memadai disadari oleh
pemerintah. Pemerintah merespon dengan mulai dibangunnya infrastruktur laut
yang berlandaskan RPJMN 2014-2019.
Memasuki
Revolusi Industri 4.0, peluang untuk adanya inovasi-inovasi makin terbuka
lebar. Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan makin maraknya Artificial
Intelligence, automasi, dan teknologi lainnya. Inovasi-inovasi tersebut
dapat mengakibatkan dampak positif yaitu makin adanya efisiensi dalam ekonomi.
Efisiensi tersebut dapat berasal dari aktivitas seperti makin efisiennya biaya
produksi, aktivitas operasi yang semakin efisien, dan sebagainya.
Dalam hal pembangunan infrastruktur laut, adanya Revolusi
Industri 4.0 merupakan sebuah peluang. Kemajuan teknologi makin mendorong
terciptanya efisiensi dalam rantai transportasi dan distribusi ke seluruh
pelosok Indonesia.
Salah satu peluang dari pengaruh Revolusi Industri 4.0 terhadap
konektivitas laut adalah dalam proses produksi dan operasi kapal. Kapal
merupakan instrumen utama dalam hal konektivitas laut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar