Senin, 30 November 2015

Agama menurut Sigmund Freud

puji tuhan
agama menurut Sigmun Freud

Ateisme Sigmund Freud
1. Kritik agama praxis pembebas
Sigmund Freud (1856-1939), “bapak psikoanalisa” dan salah seorang ilmuwan paling berpengaruh di dunia, adalah seorang ateis. Apakah  Tuhan ada atau tidak tidak pernah ditanyakan. Baginya jawabannya jelas dengan sendirinya: Tentu Tuhan tidak ada. Yang ada adalah alam dengan manusia dan segala masalahnya. Yang menjadi pertanyaan bagi Freud adalah, mengapa gagasan “Tuhan” sedemikian menguasai kesadaran dan kehidupan manusia, padahal “Tuhan” tidak dapat dilihat, didengar ataupun dirasakan. Meskipun Freud menyatakan bahwa “penelitian (ilmiah) ini tidak bermaksud untuk mengambil sikap terhadap nilai kebenaran ajaran-ajaran religius”, namun ia langsung menambah: “bagi kami cukup, bahwa kami menemukan bahwa agama menurut kodrat  psikologisnya merupakan sebuah ilusi” (dikutip dari wager 140).
    Freud menjelaskan agama sebagai pelarian neurotis dan infantil dari realitas. Daripada berani menghadapi dunia nyata dengan segala tantangannya, manusia mencari keselamatan dari “Tuhan” yang tidak kelihatan dan tidak nyata. Penuh ketakutan manusia tunduk terhadap sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata dengan segala tantangannya. Sikap seperti itu khas sikap orang neurotis, sekaligus infantil. Kalau manusia mau menjadi mampu untuk betul-betul menanggulangi tantangan-tantangan dunia nyata, ia harus membebaskan diri dari neurosis kolektif itu, itulah ini kritik agama Freud.
2. Neurosis
Mari kita melihat lebih dulu, apa yang dimaksud dengan “neurosis”. Ajaran tentang neurosis merupakan inti teori psikoanalisa Freud. Dengan neurosis dimaksud kelakuan-kelakuan dan perasaan-perasaan yang aneh dalam arti tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Misalnya orang tidak bisa berkomunikasi normal, takut tanpa alasan, terus-menerus mencuci tangan. Orang untuk sebagian sadar bahwa reaksinya terhadap dunia luar tidak benar, tetapi ia tidak dapat mengubahnya. Menurut Freud, neurosis bisa terjadi apabila orang bereaksi tidak benar atas suatu pengalaman yang amat emosional dan memalukan. Misalnya sebagai anak ia pernah diperkosa. Karena merasa amat malu, ia waktu itu langsung menyingkirklan kejadian itu dari ingatannya, seakan-akan tidak ada yang terjadi. Tetapi rasa malu terus yang tertekan seakan-akan ribut terus dalam bagian jiwa tak sadar dan sesudah waktu tertentu akan muncul kembali di permukaan kesadaran sebagai suatu kelakuan yang aneh, yang tidak dapat diatasinya. Karena kelakuan itu tidak berkaitan dengan pemerkosaan itu, ia tidak tahu apa yang menyebabkannya. Neurosis itu menyebabkan ia tidak bisa mengembangkan diri secara dewasa. Selama neurosis itu tetap tidak dapat disembuhkan ia tidak mampu hidup secara biasa.
    Menurut Freud, neurosis itu berkaitan dengan super-ego. Super-ego membencong pada suara hati. Dalam super-ego norma-norma ayah, dan masyarakat pada umumnya, dibatinkan, artinya, batin orang sendiri sekarang menyuarakan larangan ayah dan masyarakat. Seakan-akan suara ayah terus berkumandang dalam kesadaran kita. Setiap kali orang mau mengambil sikap yang dilarang oleh norma-norma moral yang sudah dibatinkannya, super-ego akan menegur dengan keras. Celakanya, super-ego tidak hanya menegur kalau, misalnya, orang melakukan tindakan seks yang tidak boleh. Melainkan super-ego sudah menegur begitu ada rangsangan seks terasa padahal ia belum mengambil sikap. Untuk menghindari teguran super-ego, orang yang bersangkutan menekan perasaan itu seakan-akan tidak ada yang terjadi. Seharusnya ia dengan tenang mengakui bahwa ia terangsang secara seksual, lalu membuat penilaian bagaimana ia seharusnya menghadapi rangsangan itu, kemudian bertindak sesuai dengan penilaiannya. Nah, tidak mengakui adanya emosi-emosi yang terlarang super-ego padahal ia belum mengambil sikap itulah yang dapat menghasilkan neurosis.
3. Agama: Ilusi infantil dan neurosis kolektif
Freud bertolak dari fungsi agama. Agama membuat manusia percaya akan adanya dewa-dewa. Dewa-dewa itu berfungsi “mengatasi ancaman alam, membuat orang menerima kekejaman nasibnya dan menjanjikan ganjaran atas penderitaaanya dan frustasi yang dituntut dari manusia” [dikutip dari Casper 65]. Jadi memlalui agama manusia mau melindungi diri terhadap segala macam ancaman dan penderitaan. Namun perlindungan itu sebuah ilusi. Dewa-dewa bukannya sungguh-sungguh melindungi manusia, melainkan hanya diinginkan agar melindunginya. Dan itulah yang disebut ilusi: keyakinan bahwa suatu harapan akan terpenuhi, bukan karena kenyataan mendukung harapan itu, melainkan karena orang menginginkannya. Ilusi itu infantil (=kekanak-kanakan) karena mengharapkan agar apa yang diinginkan sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil: ia menghadapi masalah-masalah nyata dengan wishful thinking. Dan karena itu agama justru melumpukan manusia. Ia mengharapkan keselamatan secara pasif dari “Tuhan” atau “dewa-dewa” daripada mencari jalan untuk mengusahakannya sendiri dan dengan demikian mengembangkan kekuatan-kekuatannya sendiri.
    Namun, agama begitu kuat pegangannya atas manusia karena agama, dalam pandangan Freud, bukan haya sebuah kekeliruan mengharapkan penyelamat yang tidak pernah akan datang karena memang tidak ada, melainkan merupakan sebuah neurosis kolektif. Kata “kolektif” memaksudkan bahwa apa yang mau dikatakan Freud bukannya setiap orang beragama secara individual mesti sakit secara neurotis dalam arti klinik. Individu biasanya beragama, karena ia menjadi besar, mengalami sosialisasi dasar, dalam masyarakat yang sudah beragama, maka ia mempercayai dan menghayati semua unsur lain pandangan dunia masyarakatnya.
    Akan tetapi, sebagai gejala sosial agama menunjukkan persis ciri-ciri sebuah neurosis, neurosis bersama sekelompok orang. Orang beragama menjalani agamanya supaya “selamat” tetapi tentu dengan pengandaian bahwa tidak ada Allah sebenarnya agama sama sekali tidak menyelamatkan manusia dari pelbagai malapetaka. Orang melakukan pelbagai “perintah” agama dan tidak berani melakukan hal-hal lain “dosa” bukan atas pertimbangan rasional, melainkan karena takut dihukum “Allah”. Allah adalah “ayah-super” yang sekaligus dicintai dan ditakuti. Manusia beragama menyikapi dorongan dan keinginan-keinginan yang dirasakannya bukan berdasarkan pertimbangan yang masuk akal, melainkan karena “dilarang Tuhan”. Dengan demikian konflik antara keinginan-keinginan spontan dan tuntutan realitas tidak dikelola secara terbuka dan rasional, melainkan secara irasional. Yang khas bagi neurosis ada dalam agama: Perasaan takut berlebihan apabila “hukum Allah” dilanggar. Orang beragama selalu takut jangan-jangan ia berdosa, lalu masuk neraka. Ia suka berfokus pada aturan ritual yang teramat mendetil, pada hal absah atau tidak absah. Orang beragama tidak mampu untuk menikmati sesuatu tanpa takut berdosa. Dengan demikian, agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan untuk mencapai tingkat kebahagian yang sebenarnya dapat saja tercapai.
    Asal-usul agama dijelaskan Freud dalam tulisannya Totem und Tabu dengan sebuah cerita termasyur: dalam gerombolan asali manusia terdapat seorang “ayah super” yang mempunyai monopoli atas semua perempuan. Hal itu menimbulkan rasa iri dan kebencian anak –anak lelakinya. Maka mereka membunuh ayah mereka. Tetapi mereka tetap juga mengagumi ayah yang mereka bunuh itu dan ingin menjadi perkasa seperti dia. Maka, mereka mengambil alih semua peraturan dan larangannya sebagai aturan hidup mereka. Ayah sendiri disimbolkan dalam totem (“totem” adalah sebuah patung atau benda simbolis di dalamnya mereka menyakini kekuatan almarhum ayah itu tetap melindungi mereka). Maka, lahirlah agama sebagai system peraturan yang apabila ditaati dengan persis menjamin perlindungan “ayah super”, Tuhan. Agama menurut Freud berasal dari konflik Oedipus pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar